Monday, November 9, 2009

What should I say? Astaghfirullah? Alhamdulillah? Subhanallah?

Hello readers, muubh iiuubhz baru muncul setelah sekian lama

Hmm, a lotta things happened to me today.. Enaknya mulai darimana ya hmm...

Jadi, pada hari senin tanggal 09 Nov 2009 sekitar pukul 9.30 anak2 laki2 kelas XI IPA C bermain bola di lapangan. Lalu ada seseorang -sebut saja oknum I- di depan gawang. Ia bermaksud untuk mencegah bola masuk ke gawang dengan cara menendangnya. Namun, malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Sang bola tetap meluncur dengan mulusnya (baca: tendangannya gagal, meleset, kaki oknum I jadi mengambang2 tak jelas juntrungannya). Saya tak kuasa menahan diri, saya tertawa terbahak-bahak sampai mengeluarkan air mata (ini beneran).

Saat saya berada di kelas, tiba2 saya merasa perut saya sakit. Lalu saya berkata kepada teman saya, sebut saja oknum F, kira2 seperti ini : "F, kok perut gue sakit ya, jangan2 gue kualat lagi ama oknum I". F berkata, "Iya kali, lo lebay sih tadi ketawanya." Lalu dengan niat baik ingin membersihkan dosa (padahal males sakit perut lama2) saya pun meminta maaf kepada oknum I ketika ia masuk kelas. Kira2 begini percakapan kami waktu itu:

Saya (S): I, maaf ya

Oknum I (i): Kenapa emang?

S: Itu, tadi kan lo pas di lapangan mau nendang bola, terus gagal, terus tadi gue ngakak gila2an terus sekarang perut gue sakit, kayaknya karma deh, maaf ya

I: *meletakkan kedua tangan di bahu saya, lalu mendorong saya dengan keras, entah memang dimaksudkan demikian, atau saya yang terlalu lemah, atau dia yang terlalu setrong*

KRAAAAAK

Oh mama, oh papa, entah apa salah hamba.

Sakit, sumpah deh.

S: Aaaaaaaaaaw *memegangi punggung*

I: Eh? Sakit ya? (karena dia bertanya seperti ini berarti asumsi saya yang pertama terbukti salah)

S: Iyalah..

I: *memijit bagian yang saya pegang*

S: AAAAAAAAAAAAAAW!!

Setelah itu saya mencoba berpindah dari posisi awal saya (di bangku sebelah tempat duduk oknum F) ke tempat duduk saya sendiri. Lalu saya menyadari ada yang salah.

Saya tidak bisa menoleh. Baik ke atas, ke bawah, ke kiri, maupun ke kanan.

Dan ini menyebabkan saya harus berjalan seperti peragawati yang menatap lurus ke depan. Tidak tidak, coret kalimat tadi, saya tidak sekeren itu. Saya seperti orang yang memakai penyangga kepala, plus kacamata kuda.

Teman saya lalu memberitahu bahwa kami, anak2 perempuan, harus kembali ke lapangan untuk bermain bola (jam olahraga belum habis, hanya terpotong istirahat). Dengan terpaksa saya kembali ke lapangan, berharap bisa mendapatkan dispensasi untuk tidak ikut berolahraga dikarenakan kondisi saya. Namun ternyata, permainannya dibatalkan karena jumlah pemain yang tidak mencukupi (baca: banyak yang malas melanjutkan olahraga, termasuk saya sebenarnya). Syukurlah, pikir saya.

Masalah selanjutnya muncul: ganti baju. Pernahkan anda mencoba bargati pakaian tanpa menggerakkan leher anda? Jika belum, cobalah. Dan anda akan merasakan sensasi luar biasa ketika mencoba mengeluarkan kepala anda dari lubang kaus tanpa menggerakkan leher anda, sedikitpun. Cukup penjelasan masalah ganti baju, praktekkan sendiri jika ingin tahu lebih lanjut.

Masalah ganti baju selesai, dan kelas selanjutnya dimulai.

Jika anda tidak tahu posisi denah kelas saya, mari, saya beri penjelasan sedikit. Jika anda berdiri di tengah kelas, menghadap papan tulis, lalu memutar tubuh anda ke arah barat laut, anda akan mendapati meja guru di sana. Saya adalah tipikal murid yang menatap wajah guru saat beliau menjelaskan, dan bukannya menunduk sambil mendengarkan. Kebiasaan ini tidak membawa dampak apa2 dalam kondisi normal, saya cukup menolehkan leher saya untuk memperhatikan. Namun berhubung saya tidak bisa menengok, saya harus memutar tubuh saya ke arah meja guru untuk memperhatikan, dan memutarnya kembali saat menemukan sesuatu yang menurut saya penting untuk dicatat.

Lagi, saya tipikal orang yang lebih suka menanyakan ke teman pelajaran yang belum saya mengerti. Dan teman yang dimaksud duduk di belakang saya. Jadi saya harus memutar tubuh saya untuk bertanya, dan memutar lagi untuk melanjutkan menulis. Jika leher saya tidak bisa digerakkan untuk waktu yang lama, mungkin saya akan meminta izin untuk mengganti kursi saya dengan kursi bar karenan seringnya saya berputar.

Teman saya, sebut saja oknum T, merasa kasihan melihat saya tidak bisa menoleh. Lalu ia menawarkan untuk membantu saya. Kira2 begini dialog waktu itu:

T: Siniin deh tangan kiri lo

S: Nggak ah, mau lo apain?

T: Udah siniin aja, kalo leher gue sakit biasanya diginiin ama nyokap gue

S: Bener gapapa? *mengulurkan tangan*

T: Iya udah sini *memijit tangan saya* Coba nengok pelan2 ke kanan

S: *menengok dengan sangaaat pelan* aaaaaaaaaaaaaaw *menahan air mata*

T: Eeeeh? *mungkin kasihan melihat saya yang hampir menangis kesakitan, lalu tidak melanjutkan memijit tangan saya*

Begitulah, pengobatan pun dihentikan.

Masalah selanjutnya: shalat. Baru kali ini saya sujud dengan tangan yang teramat gemetar karena harus menahan bobot tubuh saya tanpa dibantu oleh leher. Saya pun shalat dengan gerakan slow motion. Untung teman yang saya ajak shalat bersama cukup sabar menunggu saya.

Setelah shalat, saya makan bersama dengan teman saya tersebut, sebut saja oknum M, oknum T lalu datang dan bergabung dengan kami berdua. Sambil makan, kami bercakap-cakap. Lalu saya berkata kepada teman saya, "Eh, kalo gue bilang ke -sebut saja- oknum K kalo leher gue sakit dia gimana ya ?" (attention seeker, saya mengakui itu). Kata oknum M, "Itu orangnya, bilang aja" ia lalu memberi isyarat pada oknum K kalau leher saya tidak bisa digerakkan, lalu oknum K membuat pose seperti orang kegirangan. Saya sudah memprediksi hal itu, jadi biarlah.

Setelah selesai makan dan mengembalikan piring, saya berjalan2 dengan oknum M (terkesan seperti pasangan lesbian, tetapi tidak, kami berdua masih normal, tenang saja). Lalu tanpa sengaja berpapasan dengan oknum K, dan terjadi percakapan yang kurang lebih seperti berikut:

M: Heh K, parah banget sih lo, lagi sakit nih anak

K: *saya lupa dia menjawab apa, intinya tidak menganggap kondisi saya serius, kalau tidak salah berkata masalah salah tidur*

S: Nggak, bukan salah tidur

K: Yaudahlah, sebentar juga sembuh

M: Ya nggak lah, kaki gue aja keseleo 2 minggu ga sembuh2

S: Yaudahlah M, balik aja yuk *mulai malas*

Say it together, readers

KRRRRRTTTAAAAAAAAK

TUHAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAN, BERIKAN AKU HIDUP, SATU KALI LAGIIIIIIIIIIIIII

Oknum K, tanpa tahu bahwa saya benar2 tidak bisa menggerakkan leher saya waktu itu, melakukan gerakan seperti mematahkan leher saya ke arah kanan, dengan cepat. Saya mengira leher saya benar2 patah saat itu.

S: AAAAAAAAAAAAAAAW *membungkuk menahan sakit dan air mata yang hampir jatuh*

K: EEEEEEEEEH KENAPA? SAKIT BENERAN YA? KIRAIN BERCANDA YAAMPUN MAAF YAAAAA

S: *tak bisa berkata2, menangis tanpa suara*

Saya tidak akan menangis di depan umum, kecuali ada seseorang yang meninggal, sedang ada ESQ atau muhasabbah, atau merasakan sakit (secara fisik, bukan sakit hati atau sejenisnya) yang tidak tertahankan. Berarti air mata yang keluar waktu itu karena alasan ketiga.

K: EEEEH YAAAMPUN MAAAAAAAAAAAAAF

M: Duduk dulu duduk, jangan disini

S: *masih mengeluarkan air mata*

K: Yaaaaaaaah, aduh maaf yaaaaaaaa

S: *sudah berhenti menangis* M, gue mau ke kelas aja deh, tapi temenin cuci muka dulu

M: Iya udah ayo2

Setelah cuci muka, oknum K kembali menemui saya.

K: Maaf ya..

S: Iya udah gapapa

K: Serius gue ga enak banget liat cewek nangis

S: Iya udah udah gapapa kok

K: Setelah gue gituin mendingan apa tambah sakit?

S: Sama aja...

Percakapan selanjutnya tidak penting untuk diketahui. Intinya saya meyakinkan dia kalau saya tidak apa2, dan dia kembali ke kelasnya. Sayapun melanjutkan pelajaran hari itu dengan kondisi sama seperti sebelumnya. Namun, saat bel pelajaran berakhir dibunyikan...

S: *merapikan barang2 diatas meja, lalu menengok untuk melihat apa ada yang masih tertinggal*

Coba kira baca ulang kalimat tadi.

"...lalu menengok untuk melihat...."

SAYA BISA MENENGOK! YEAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAH! *Indonesia raya berkumandang di kejauhan*

S: *mencoba menunduk dan menengadahkan kepala*

Ternyata masih sakit, yasudahlah, tidak apa. Yang penting saya bisa menengok!

Setelah itu, saya pun mencari oknum K untuk berterimakasih atas tindakan brutalnya tadi. Setelah itu, saya dengan gembira berkata kepada oknum M kalau saya sudah bisa menengok.

Menengok.

Hal yang sangat keciiiil yang sebenarnya merupakan nikmat besar dari Allah yang selam ini saya sepelekan.

Begitu nikmat itu diambil, terasa sekali efeknya.

Dan begitu nikmat itu diberikan kembali ke kita, begitu bahagia rasanya.

Karena itu, hari ini saya sangat bersyukur karena bisa belajar untuk mensyukuri nikmat-Nya.

1 comment:

Reihan Putri said...

emang oknum I itu sangat tidak berperikemanusiaan terhadap cewek2, saya saja pernah ngasih selamat ultah malah diperes tangannya ampe bunyi dan sakit banget